Matius 5:31-32
31.
Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat
cerai kepadanya.
32.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali
karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan
perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.
31. errethē de· os an apolusē tēn gunaika autou dotō autē apostasion.
32. egō de legō umin oti pas o apoluōn tēn gunaika autou parektos logou porneias poiei autēn moicheuthēnai kai os ean apolelumenēn gamēsē moichatai.
Pada
zaman Tuhan Yesus hubungan pernikahan atau kehidupan berumah tangga sedang
dalam bahaya yang sangat mengerikan dan di zaman Tuhan Yesus di Israel
berkembang beberapa sudut pandang tentang pernikahan karena di Israel pada
waktu itu bukan hanya orang Yahudi saja tapi orang Romawi juga berpengaruh
dalam budaya karena mereka sedang menjajah Israel tapi ternyata pengaruh Yunani
sangat kuat dan menjalar keseluruh negeri jajahan Roma, sekalipun Romawi
penjajah tapi dalam hal budaya bangsa Yunanilah yang menguasainya. Dari ketiga
budaya yang sangat kuat pada zaman Tuhan Yesus inilah saya mau mengupasnya dari
3 sudut Pernikahan pada zaman Tuhan Yesus :
I. Pernikahan menurut tradisi masyarakat Yahudi.
Berdasarkan
kenyataan dibangsa manapun tidak ada yang mempunyai hubungan pernikahan yang
begitu tinggi seperti bangsa Yahudi. Bagi mereka pernikahan adalah hal yang
suci bagi laki-laki, laki-laki Yahudi boleh menunda tau tidak menikah hanya
dengan satu alasan saja, yaitu membaktikan seluruh hidup dan waktunya untuk
mempelajari hukum Taurat.
Ternyata
dalam kenyataannya kesucian pernikahan Yahudi sangat dilanggar, karena ternyata
dalam hukum Yahudi :
a. Wanita itu merupakan barang saja.
b. Wanita menjadi milik mutlak ayah atau
suaminya.
c. Wanita tidak mempunyai hak hukum sama
sekali.
d. Wanita tidak bisa menceraikan
suaminya.
Sebaliknya
untuk Laki-laki dapat menceraikan isterinya dengan alasan yang sederhana saja.
Dasar hukumnya adalah. Ul 24:1-4.
1. ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan
dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan
itu, sebab didapatinya yang tidak senonohpadanya, lalu ia menulis
surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh
dia pergi dari rumahnya,
2. dan
jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi
isteri orang lain,
3. dan
jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya,
lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta
menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil
dia menjadi isterinya itu mati,
4. maka
suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil
dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu
adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas
negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”..
Wanita melakukan “tindakan
yang tidak senonoh” maka si laki-laki itu membuat surat cerai dan
menyerahkannya kepada wanita itu lalu menyuruhnya pergi dari rumahnya.
Dan permasalahan terjadi dari
pemahaman kalimat “yang tidak senonoh” dari yang terkandung di Kitab Ulangan
tersebut. Di Israel ada 2 Aliran/mashab yang menyangkut masalah-masalah Hukum.:
1. Aliran
Shammai, menyatakan satu-satunya alasan yang memungkinkan perceraian bagi
isteri kalau si isteri melakukan Perzinahan.
2. Aliran
Hillel, menyatakan bahwa seorang suami dapat menceraikan isteri kalau :
- Membubuhkan
garam terlalu banyak.
- Ia
keluar rumah tanpa memakai tutup kepala.
- Berbicara
dengan laki-laki dijalan.
- Suka
bertengkar.
- Membicarakan
Mertuanya secara kurang hormat dihadapan suaminya.
- Suka
cari-cari perkara.
Menurut
penjelasan Pdt Budi Asali untuk Matius 5:32 adalah kalau seorang suami
menceraikan istrinya, sekalipun bukan karena perzinahan, maka mereka berdua
tidak boleh menikah lagi. Tetapi bagaimana kalau suami itu melanggar larangan
tersebut, dan ia menikah lagi? Saya tidak menemukan buku tafsiran yang membahas
kasus seperti ini. Tetapi saya sendiri berpendapat sebagai berikut: suami itu
sebetulnya tidak berhak menikah lagi. Kalau ia menikah lagi, maka di hadapan
Allah pernikahan itu merupakan perzinahan. Dengan demikian ditinjau dari sudut
istri yang diceraikan, suaminya berzinah, dan karena itu si istri menjadi
berhak menikah lagi.
Karena
itu jangan terlalu cepat berpikir negatif kalau ada janda / duda yang mau
menikah lagi. Kita harus mengetahui lebih dulu apa sebabnya ia menjadi janda /
duda. Kalau itu disebabkan karena pasangannya mati, atau karena ia menceraikan
pasangannya yang berzinah, maka ia berhak untuk menikah lagi!
II. Pernikahan menurut tradisi masyarakat Yunani.
Menurut masyarakat Yunani, Wanita yang terhormat haruslah
menjalani hidup secara menutup diri, tidak berada dijalan umum sendirian, dan
tidak ikut makan satu meja dengan orang laki-laki, ia tidak boleh ikut campur
dalam kehidupan sosial.
Setiap laki-laki Yunani menuntut agar isterinya memiliki kesucian
moral yang sempurna, sedangkan bagi dirinya sendiri ia menuntut adanya
kebebasan amoral yang sebesar-besarnya, akibatnya pernikahan di antara
masyarakat Yunani sangat rendah moralnya dan ada dua hal yang merusak dalam
kehidupan pernikahan didunia Yunani :
a. Hal yang
menghancurkan pernikahan di tengah masyarakat Yunani ialah bahwa hubungan
laki-laki dan wanita diluar pernikahan sama sekali tidak dianggap salah atau
tercela. Hubungan semacam itu diterima dengan baik dan memang sangat diharapkan
oleh masyarakat.
b. Hal
kedua yang menghancurkan pernikahan ditengah masyarakat Yunani adalah
perceraian tidak memerlukan proses hukum sama sekali. Kalau ada suami yang
ingin menceraikan isterinya, ia hanya tinggal mengusir dan melepaskan isterinya
itu dihadapan dua orang saksi saja.
III. Pernikahan
menurut tradisi masyarakat Romawi.
Kehidupan masyarakat Romawi itu dibangun dengan prinsip keluarga
yang baik, dimasyarakat Romawi Bapaklah yang berkuasa atau disebut Patia
Protestas. Bapaklah yang memegang kekuasaan untuk hidup dan mati dari sebuah
keluarga atau Rumah Tangganya, seorang anak laki-laki Romawi tidak akan pernah
mengalami dewasa selama ayahnya masih hidup.
Seorang ibu rumah tangga tidak terkucilkan, ibu turut berperan
didalam kehidupan keluarga.
Norma moral romawi itu memang begitu tinggi , sehingga selama
lima abad pertama dalam zaman kekaisaran Romawi tidak ada satu percerain pun
yang terjadi.
Setelah secara kemiliteran/politik Romawi mengalahkan Yunani,
tetapi selanjutnya dalam perjalanan penjajahan atas Yunani itu, ternyata secara
Budaya tanpa disadari oleh orang-orang Romawi, Yunani menguasai Budaya
dan adat istiadat Romawi, maka mulailah malapetaka Pernikahan keluarga di
Masyarakat Romawipun terjadilah, Perceraian sama seringnya dengan Pernikahan,
sehingga pada zaman itu jangan heran kalau Wanita memiliki suami lebih dari
satu ada yang tujuh bahkan ada yang memiliki sepuluh suami, suatu tragedi
budaya pernikahan yang tragis sekali dari sebuah Negara yang memiliki kekuatan Militer
dan Politik yang sedemikian hebatnya, ternyata dapat dijajah hanya oleh sebuah
budaya yang tingkat amoralnya sangat rendah.
Dan inilah kehadiran Tuhan Yesus
pada saat itu dimana Romawi berkuasa secara Militer dan Politik, tapi ternyata
Yunani mendompleng didalamnya menjadi penjajah secara Ilmu dan Budaya,
khususnya tentang lembaga Pernikahan, yang efeknya secara tidak langsung
mengena ke Budaya Pernikahan Israel. Tuhan Yesus hadir pada saat itu membawa
ajaran tentang kemurnian, kesucian, kesetiaan dan harkat pernikahan yang
menurut budaya pada waktu itu adalah sesuatu yang baru dan selanjutnya dengan
kekristenan maka di dunia ini telah datang satu kemurnian dan kesucian yang
tidak pernah terpikirkan oleh manusia.
Bekasi, 04 Maret 2013
Karyadim642.blgspot.com
Marriage
Is Sacred and Binding/Lembaga
Pernikahan
31 "Furthermore
it has been said, 'Whoever divorces his wife, let him give her a certificate of
divorce.'
32
But I
say to you that whoever divorces his wife for any reason except sexual
immorality causes her to commit adultery; and whoever marries a woman who is divorced commits adultery.
31 Ἐρρέθη δέ· ὃς ἂν ἀπολύσῃ τὴν γυναῖκα αὐτοῦ δότω αὐτῇ ἀποστάσιον.
32 ἐγὼ δὲ λέγω ὑμῖν ὅτι πᾶς ὁ ἀπολύων τὴν γυναῖκα αὐτοῦ παρεκτὸς λόγου πορνείας ποιεῖ αὐτὴν μοιχευθῆναι καὶ ὃς ἐὰν ἀπολελυμένην γαμήσῃ μοιχᾶται.